Oleh : H. A. Ahmad Saransi
Selama ini, ungkapan Belanda _“De haantjes van het Oosten”_ kerap diterjemahkan secara harfiah sebagai “Ayam Jantan dari Timur”. Terjemahan ini telah beredar luas, terutama dalam narasi sejarah yang menggambarkan keberanian Sultan Hasanuddin, tokoh besar asal Makassar. Namun, ada kekeliruan mendasar dalam penerjemahan tersebut yang perlu diluruskan.
Kata _"haantjes"_ dalam bahasa Belanda bukanlah bentuk tunggal (haan berarti ayam jantan), melainkan bentuk jamak yang berarti ayam-ayam jantan atau jago-jago. Maka, terjemahan yang lebih tepat untuk _“De haantjes van het Oosten”_ adalah *“Ayam-ayam Jantan dari Timur” atau “Para Jago dari Timur”*.
Julukan ini bukan hanya ditujukan kepada Sultan Hasanuddin saja, tetapi juga kepada para pejuang Makassar lainnya yang terkenal akan keberanian dan semangat juangnya dalam menghadapi kolonialisme Belanda.
Julukan ini mencerminkan pandangan Belanda terhadap para pejuang dari kawasan timur Nusantara, khususnya Sulawesi Selatan, yang dikenal pantang menyerah dan gigih dalam pertempuran.
Fakta sejarah memperkuat makna jamak ini: Sulawesi Selatan adalah daerah dengan jumlah pahlawan nasional terbanyak di Indonesia. Lebih dari sepuluh tokoh dari wilayah ini telah diakui sebagai pahlawan nasional oleh negara, termasuk Sultan Hasanuddin, Pong Tiku, Andi Abdullah Bau Massepe, dan banyak lainnya. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Karaeng Galesong (anak bungsu Sultan Hasanuddin dari isteri keempatnya I Hatija Lo'mo Tobo) dan pahlawan lokal lainnya masih menanti pengakuan yang layak atas peran heroiknya.
Dengan pemahaman ini, kita tidak hanya menghargai Sultan Hasanuddin sebagai simbol perlawanan, tetapi juga memberi tempat yang semestinya bagi seluruh putra terbaik Sulawesi Selatan yang telah mengukir sejarah.
Julukan “De haantjes van het Oosten” bukan sekadar bentuk penghinaan atau ejekan, tetapi sebuah pengakuan tak langsung dari Belanda atas keberanian kolektif para pejuang dari timur.