Oleh : Ahmad Saransi
@sorotan
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 yang memerintah antara tahun 1655 hingga 1670. Dalam sejarah Nusantara, nama beliau harum sebagai salah satu tokoh besar yang menentang kolonialisme VOC Belanda di kawasan timur Indonesia. Keteguhan dan keberaniannya dalam mempertahankan kedaulatan Kerajaan Gowa menjadikannya simbol perlawanan dan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan.
Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menegakkan martabat bangsa, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dari Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 887/TK/Tahun 1973 tertanggal 6 November 1973.
Salah satu syarat penganugerahan gelar Pahlawan Nasional adalah adanya foto atau lukisan wajah tokoh yang dimaksud. Karena Sultan Hasanuddin hidup pada abad ke-17, tentu tidak ada dokumentasi visual yang tersisa dari masa itu. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka dibuatlah lukisan wajah Sultan Hasanuddin oleh seorang pelukis Tionghoa bernama Tjiang Tjong Tjoan. Lukisan ini kemudian dikenal luas dan menjadi representasi visual resmi Sultan Hasanuddin hingga kini.
Namun, jika diperhatikan, lukisan karya Tjiang Tjong Tjoan memperlihatkan sosok Sultan Hasanuddin dengan ekspresi tegas dan wajah yang terkesan sangar. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh minimnya referensi visual yang dimiliki sang pelukis dalam merekonstruksi wajah sang raja. Gambar tersebut lebih mencerminkan imajinasi pelukis tentang seorang pejuang tangguh, bukan gambaran historis sebagaimana terekam dalam sumber-sumber lokal.
Bila menilik Syair Perang Makassar, karya yang ditulis oleh sekretaris Sultan Hasanuddin sendiri, gambaran fisik dan kepribadian beliau justru sangat berbeda dengan citra keras dalam lukisan itu. Dalam syair tersebut, Sultan Hasanuddin digambarkan sebagai sosok yang berwibawa, lembut, dan penuh kebijaksanaan:
“Baginda Raja di Bontoala’
Seperti zaitun pohonnya rampak
Tempat bernaung sekalian khalayak
Dengan murahnya baginda pula.”
— (C. Skinner, 2008: 126)
Dan pada bait lain disebutkan pula:
“Baginda raja yang amat elok,
Seraksi dengan adinda di Tello,
Seperti embun yang amat sejuk,
Cahayanya limpah segala makhluk.” (2008::77).
Dari deskripsi tersebut, tergambar bahwa Sultan Hasanuddin memiliki penampilan yang tidak terlalu tinggi, bertubuh agak gemuk, namun berwajah ramah dan bercahaya. Karakternya pun digambarkan bijaksana, penyayang, dan rendah hati, jauh dari kesan keras yang terlihat pada lukisan Tjiang Tjong Tjoan.
Dengan demikian, dapat diduga bahwa hasil karya lukisan tersebut lebih bersifat simbolik daripada historis. Lukisan itu menggambarkan semangat juang dan ketegasan Sultan Hasanuddin sebagai “Ayam Jantan dari Timur”, bukan potret sebenarnya sebagaimana terekam dalam kesaksian sezaman.
Meski demikian, baik lukisan maupun syair sama-sama berperan penting dalam menjaga ingatan kolektif bangsa. Yang satu menggambarkan wibawa perjuangan, sementara yang lain menuturkan keindahan budi dan jiwa seorang raja yang memperjuangkan tanah airnya dengan keberanian dan kasih sayang kepada rakyatnya.
Alfatihah untuk Almarhum Sultan Hasanuddin šš


0Komentar