Oleh: A. Ahmad Saransi
@sorotan
Kepahlawanan selalu mengisi relung imajinasi setiap generasi dalam sebuah bangsa yang masih menghayatinya. Ia bukan sekadar kisah heroik yang tertulis di lembar buku sejarah, melainkan semangat yang terus menyalakan bara cinta tanah air di dada anak bangsa. Di tengah kerinduan akan hadirnya model kenegarawanan sejati yang menjadi panutan dalam sikap, pikiran, dan ketulusan kita masih mengenang pribadi-pribadi yang telah menorehkan jasa besar bagi negeri ini.
Mereka adalah orang-orang yang rela berkorban tanpa pamrih, menyerahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa demi kemerdekaan dan martabat bangsa. Nilai kepahlawanan itulah yang kini semakin dirindukan di tengah derasnya arus pragmatisme dan politik kepentingan.
Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2025, publik kembali bertanya: apakah Presiden Prabowo Subianto akan “mengobral” tanda jasa Pahlawan Nasional sebagaimana ketika beliau menganugerahkan Tanda Bintang Kehormatan Republik Indonesia kepada 141 penerima pada tanggal 25 Agustus 2025 lalu?
Pertanyaan ini mengandung harapan dan sekaligus kehati-hatian. Sebab, gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan pengakuan atas nilai luhur perjuangan dan keteladanan hidup yang seharusnya diteladani.
Jika momentum itu benar terulang, maka ada empat putra-putri terbaik dari Provinsi Sulawesi Selatan yang berpeluang besar untuk menerima anugerah Pahlawan Nasional tahun ini, yakni:
• Retna Kencana Colli Pojie, perempuan bangsawan dan pejuang yang berperan besar dalam pergerakan sosial dan pendidikan perempuan Bugis.
• Jenderal Muhammad Yusuf, prajurit sejati dan tokoh militer yang berintegritas tinggi, menorehkan pengabdian tanpa cela bagi republik.
• KH. AG. Muhammad As’ad, ulama kharismatik dari Sengkang yang berjasa besar dalam dakwah Islam dan perjuangan moral bangsa.
• Anre Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, yg berjasa besar dalam perjuangan pendidikan dan siar Islam.
• Andi Abdullah Bau Massepe, pejuang revolusi yang mengorbankan hidupnya demi tegaknya kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Kelima nama ini bukan sekadar simbol daerah, melainkan cerminan dari semangat harga diri dan solidaritas yang menjadi roh perjuangan masyarakat Bugis-Makassar.
Jika penghargaan itu benar-benar diberikan, maka sesungguhnya bangsa ini bukan sekadar memberi gelar, tetapi juga sedang memanggil kembali nilai-nilai kejujuran, pengorbanan, dan ketulusan yang telah lama menjadi fondasi negeri ini. Sebab, kepahlawanan sejati tak lahir dari pidato atau pangkat, melainkan dari hati yang berani memberi tanpa pamrih, untuk bangsa, untuk sesama, dan untuk masa depan yang lebih bermartabat.

0Komentar