GpWpGUr5TpO5GUYoTSOlGUM9TY==
Breaking
News

Retak Etik di Rumah Jurnalis: Suara Nurhayana dan Bayang-Bayang Rangkap Jabatan di Tubuh PWI

Ukuran huruf
Print 0


Oleh : Fas Rachmat Kami

Sebuah Kisah Tentang Integritas, Konflik Kepentingan, dan Kebijakan yang Dipertanyakan di Tengah Organisasi Pers Tertua.

Dalam tubuh organisasi yang dibangun dari kata-kata, kadang ada jeda yang menyesakkan—jeda yang membuat makna dan integritas terbentur. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), rumah tua yang sepanjang sejarahnya menjunjung tinggi etika dan kejernihan, kini diguncang pertanyaan mendasar.

Pertanyaan itu lahir bukan dari luar, melainkan dari rahim organisasi itu sendiri: soal rangkap jabatan, konflik kepentingan, dan kemurnian sebuah keputusan.

Di sudut ruang redaksi yang bising oleh suara telepon dan deru cetak, Nurhayana menatap jauh dari balik kacamata tipisnya. Ia adalah tokoh senior yang jejaknya telah melintasi tiga dekade di lorong-lorong PWI. “Mengapa rangkap jabatan ini dibiarkan?” tanyanya pelan, namun nadanya setajam pisau yang sudah diasah lama.

Pertanyaan itu membuka pintu cerita yang lebih lebar—tentang konsistensi aturan, dan sebuah konferensi di Soppeng yang kini dipertanyakan legitimasi kelahirannya.

Pengabdian dan Kegelisahan Tiga Dekade

Nurhayana bukan nama baru. Dalam peta PWI Sulawesi Selatan, ia telah melintasi berbagai masa: dari era mesin tik mengetuk malam hingga kecepatan berita diburu algoritma. Rekam jejaknya mencakup Ketua Seksi Ekuindag, dua periode sebagai Wakil Bendahara, dan dua periode sebagai Bendahara PWI Sulsel. Kini, ia memimpin Fajar Pendidikan, koran yang ia rawat dengan dedikasi.

Justru karena pengembaraan panjang itulah, ia melihat sesuatu yang ganjil dalam dinamika PWI belakangan ini. Sejumlah pengurus daerah dilantik menjadi pengurus pusat, namun mereka tetap mempertahankan posisi lama di daerah.

“Harusnya mereka memilih,” tegas Nurhayana. “Itu prinsip dasar organisasi yang sehat. Demi menghindari konflik kebijakan dan potensi benturan kepentingan.” Bagi seorang jurnalis, kejernihan pandang dan independensi adalah modal utama; hal yang sama berlaku bagi para pembuat kebijakannya.

Ketika Jabatan Tak Juga Dilepas

Nurhayana tak langsung bersuara. Ia menunggu. Dua bulan setelah pelantikan PWI Pusat, ia berharap para pengurus daerah yang naik ke level nasional akan mengumumkan pengunduran diri dari posisi lamanya. Mungkin hanya soal waktu, pikirnya.

Namun dua bulan berlalu. Ketua PWI Provinsi Sulawesi Selatan masih menjabat. Ketua PWI Sulawesi Tenggara pun tak beranjak dari kursinya. Begitu pula Ketua PWI Kabupaten Wajo.

Situasi menjadi kian kusut ketika PWI Pusat menggelar pertemuan virtual untuk membahas kasus dugaan kecurangan pada Konferensi PWI Kabupaten Soppeng. Dalam forum krusial itu, para pengurus yang merangkap jabatan tersebut diketahui hadir. Tak lama kemudian, lahirlah sebuah keputusan—yang oleh sebagian pihak kini dicurigai sebagai hasil dari “kolusi” internal.

“Bagaimana keputusan bisa obyektif,” tanya Nurhayana dengan retoris, “kalau para pengambil kebijakan memiliki kepentingan langsung di daerah yang sedang diadili atau dibahas?”

Upa Labuhari: Suara dari Masa Lalu yang Tegas

Kritik ini menemukan resonansi yang lebih dalam dari seorang senior, Upa Labuhari. Ia adalah saksi hidup dinamika PWI Pusat periode 2003–2013, yang paham betul bagaimana organisasi dijalankan ketika aturan ditegakkan dengan ketat.

Mengomentari keresahan Nurhayana, Upa Labuhari memulai dengan kalimat sederhana yang terasa getir, “Sampai sekarang saya belum tahu apakah pengurus PWI Pusat masih memegang prinsip bahwa tidak boleh ada double jabatan.”

Ia mengurai tegas dua kemungkinan. Pertama, jika prinsip larangan rangkap jabatan masih berlaku, maka para pengurus rangkap jabatan harus menanggalkan posisi daerahnya, dan dilarang hadir apalagi memengaruhi rapat yang menyangkut daerah.

Kedua, jika prinsip itu kini dihapus, maka rangkap jabatan boleh. Namun, yang kedua adalah anomali di mata Upa.

"Dulu tidak diperkenankan. Kita takut kebijakan daerah yang keliru bisa digolkan melalui pusat." Kalimatnya yang paling keras menjadi peringatan: “Kalau ini diperkenankan, jadi aneh buat saya. Seolah-olah PWI Pusat itu adalah kumpulan pengurus daerah, jadi putusannya tidak fair.”

Legitimasi SK Soppeng yang Menggantung

Esai kritis ini akhirnya mengerucut pada satu pertanyaan besar: apakah PWI Pusat masih berpegang pada kompas moral aturan lama, atau sudah mengubah haluan tanpa transparansi?

Sampai artikel ini ditulis, belum ada penjelasan tegas: tidak ada surat edaran, tidak ada pengumuman resmi. Dalam sebuah organisasi, aturan adalah kompas. Tanpa kompas itu, keputusan dapat melenceng, meski hanya satu derajat. Dan satu derajat dalam sebuah organisasi pers bisa mengubah seluruh arah perjalanan sejarahnya.

Pertanyaan paling tajam dari Nurhayana muncul sebagai klimaks: “Berarti keputusan PWI Pusat yang meng-SK-kan Jumawi sebagai Ketua PWI Soppeng, batal demi hukum?”

Pertanyaan ini mengguncang fondasi legitimasi. Jika keputusan itu lahir dari rapat yang diikuti oleh pengurus rangkap jabatan—pengurus yang berada di dua posisi yang berpotensi saling bertaut—apakah objektivitas dan kemurnian keputusan masih bisa dipertahankan?

Menimbang Diri di Ruang Sunyi

Organisasi sebesar PWI tidak roboh oleh kritik; justru ia berdiri tegak karena kritik. Suara Nurhayana dan Upa Labuhari bukanlah jeritan hendak menjatuhkan, melainkan seruan untuk kembali.

Dalam ruang sunyi itu, di antara lembaran notulensi dan Kode Etik Jurnalistik yang telah lama menguning, PWI sedang diuji. Apakah ia masih setia pada prinsip integritas, kejernihan, dan independensi yang pernah ia junjung tinggi selama bertahun-tahun?

Retak Etik di Rumah Jurnalis: Suara Nurhayana dan Bayang-Bayang Rangkap Jabatan di Tubuh PWI
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Tautan berhasil disalin