Maujud Budaya-Mitologi Bumi Sulawesi (MBS)(Bag. 1)

0

REFLEKSI ETIKA DALAM SIRIK NA PACCÈ
Oleh Mahrus Andis

Prolog

      Maujud Budaya, sebuah branding kegiatan diskusi bertema "Refleksi etika dalam sirik na paccè", digelar di New Tosil Malino, Gowa, Sabtu 26 April 2025. Kegiatan ini digagas oleh Mitologi Bumi Sulawesi (MBS), sebuah komunitas seni budaya dipimpin Ahmad Pidris Zain, seorang tokoh pemuda, budayawan dan pegelut di bidang filosofi kearifan lokal Turiolo (baca: leluhur orang Bugis-Makassar). Branding kegiatan bernada sufistik ini dirancang sebagai refleksi perwujudan ideologi kebudayaan yang bermakna praktis dan lebih konkret. 
      Drs. Suarga, MM., selaku penanggung jawab kegiatan, menjelaskan bahwa terminologi dialog yang selama ini digunakan dalam forum diskusi MBS kurang menyentuh eksplisitas kreatif di panggung pemajuan kebudayaan. Karena itu, terminologi maujud lebih memiliki getah sugestif untuk merefleksikan nilai-nilai budaya secara nyata dibandingkan dengan istilah dialog yang misinya sering berakhir "matè collik" (layu sebelum berkembang).

Refleksi Etika 
dalam Sirik na Paccè

      Bincang kreatif dalam bingkai Maujud Budaya  dengan tema sentral "Refleksi Etika dalam Sirik na Paccè" menghadirkan saya (Drs. H. Andi Mahrus, M.Si) sebagai pembicara bersama Dr. Syamhari, M.Pd (Akademisi UIN Alauddin Makassar) dan Ahmad Pidris Zain (Ketua Yayasan Budaya Bugis-Makassar). Acara dimoderatori Faisal Andi Saransi R.K dengan Master of Ceremony Ihsan Ahmady. 
       Maujud Budaya kali ini memiliki daya pukau yang tinggi. Tempatnya di bibir bebukitan sejuk, di sebuah cafe dan resto meriah oleh bunga-bunga lampu dari deram air terjun yang tak pernah lelah memompakan tenaga listriknya. Tidak hanya itu, seniman musik Isra dan kawan-kawan dengan Live Music New Tosil-Malino tampil menghentak suasana malam, berpacu petikan kecapi Daèng Tola dari Bali (baca: Ballèanna Limbung).
      Acara gelar budaya MBS yang sudah berlangsung kesekian kali ini, tidak sekadar menjejali pikiran kita dengan konsep literasi kultural, tetapi juga menggiring etos kreativitas kita untuk merefleksikan nilai sirik na paccè di panggung geliat sosial secara maujud.

Sirik na Paccè: 
Refleksi Ati Macinnong

      Ada beragam definisi tentang sirik na paccè menyembul dalam perbincangan budaya sejak sore hingga malam hari, baik secara teori ilmiah maupun persepsi kultural. Namun, ketiga narasumber sepakat memaknai istilah sirik na paccè sebagai "rasa malu" dan "kepedihan rasa" di balik diri manusia. Dalam diskusi, ternyata makna sirik na paccè berkembang dinamis menjadi martabat kemanusiaan dan kepedulian sosial. Bahkan, pemahaman terhadap sirik na paccè, sebagai norma pangadakkang (Bugis: pangaderreng) lebih menukik ke dalam makna filosofis, yakni: Ati Macinnong. 
       Hikmah sirik na paccè, sebagai pancaran ati macinnong (kesucian hati) menjadi sumber kemuliaan martabat manusia. Ajaran Islam (tentu pandangan agama lain juga demikian) bahwa eksistensi kemuliaan manusia ditentukan oleh levelitas relasinya kepada Tuhan dan sesama manusia. Dalam kaitan itu, Alquran menjelaskan betapa pentingnya konsepsi "hablun minallah wa hablun minannas" (relasi ibadah dan interaksi budaya) untuk memelihara stabilitas kemuliaan manusia selaku makhluk yang "ahsani taqwim" (ciptaan Tuhan yang terbaik).
 
Beberapa Ilustrasi 
Historis  

        Fakta historis untuk ilustrasi memahami refleksi etika dalam sirik na paccè, penting saya kemukakan sebagai berikut:

Ilustrasi-1
      Raja Bone ke-8, La Ica Matinroè ri Addenenna (1595) divonis hukuman mati oleh Dewan Adat Kerajaan karena terbukti melakukan tindakan kesewenang-wenangan dalam memimpin rakyatnya. Ia tidak jujur dan mengabaikan hak-hak rakyat serta mengangkangi adat pangaderreng. Konvensi hukum yang berlaku di Kerajaan Bone saat itu, bahwa apabila seorang mangkau atau raja melakukan pelanggaran, maka yang berhak mengeksekusi adalah kerabat raja di lingkungan kerajaan.
       Arung Majang, kakek La Ica sendiri, diperkenankan oleh Dewan Adat untuk melakukan eksekusi. Maka,  hukum mati pun dijalankan sebagai ganjaran atas kesewenang-wenangan  Raja Bone memimpin rakyatnya. 

Ilustrasi-2
      La Baso To Akkarangeng, Datu Soppeng yang berkuasa di sekitar abad ke-17, menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri karena telah terjadi gagal panen di wilayah kedatuannya. Ia berpendapat bahwa terjadinya gagal panen itu akibat dirinya pernah mengambil hak rakyat yang bukan miliknya. Konsekwensi pelanggaran itulah sehingga Pawinruk-è (Tuhan Pencipta langit dan bumi) murka dan menimpakan musibah berupa gagal panen di dalam negeri.
      Datu Soppeng sangat menyadari kesalahan kepemimpinannya sehingga ia menebus dengan ganjaran hukuman sesuai tuntutan konvensi adat.

Ilustrasi-3
      Di awal abad ke-17, Nenek Mallomo menjatuhkan hukuman mati kepada putranya sendiri. Ketika itu, di Kerajaan Sidenreng terjadi kemarau panjang selama tiga musim. Sebagai Datu sekaligus Pabbicara (Penegak Hukum), Nenek Mallomo meyakini bahwa terjadinya "tikkak mallarik tellu" (kemarau tiga musim) disebabkan oleh kutukan dari Dewata Seuwaè (Tuhan Yang Esa). Karena itu, Nenek Mallomo segera melakukan "nyilik  ri ati macinnong" (memeriksa hatinurani), jangan-jangan dirinya pernah melanggar aturan adat. Setelah meyakini dirinya bersih dari kesalahan maka Nenek Mallomo memeriksa seluruh penghuni rumahnya. Ternyata anak kandungnya sendiri pernah mengambil alat pembajak sawah milik orang lain.
Nenek Mallomo segera mengadakan persidangan dan menjatuhkan hukuman mati kepada putranya.
Ketika Dewan Adat bertanya: "aga mulebbirengngiha aju tabuk-e na sukkuk rennummu?" (Apakah engkau lebih memilih kayu lapuk daripada putramu sendiri ?), maka Nenek Mallomo menjawab:
" Naiya adek-è temmakkèanak, temmakkèeppo" (hukum adat tidak beranak dan tidak bercucu).
       Ketiga ilustrasi yang saya ceritakan di atas adalah fakta sejarah yang memberikan gambaran bahwa sirik na paccè atau sirik na pessè adalah sumber moralitas yang sudah menjadi norma kehidupan masyarakat Bugis-Makassar Sulawesi Selatan sejak berabad-abad  yang lalu.
(BERSAMBUNG)

Malino, 26 April 2025

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)