ATI MACINNONG:
REFLEKSI ETIKA DALAM SIRIK NA PACCÈ
Oleh Mahrus Andis
Pengertian sirik na paccè atau pessè, secara terminologi dan filosofis sudah dikemukakan pada bagian ke-1 tulisan sebelumnya. Makna spesifik kedua diksi yang masih melekat di kepala kita hingga saat ini adalah "rasa malu" dan " rasa peduli", baik kepada diri sendiri, lingkungan, maupun kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Rasa atau kesadaran eksistensial ini, hakikatnya, adalah sifat kodrati yang dimiliki oleh semua umat manusia. Namun, pada dimensi kultural, masyarakat Bugis dan Makassar (termasuk Mandar dan Toraja) menempatkan rasa sirik na paccè sebagai sistem nilai yang menjadi referensi moral, norma atau kaidah hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, konsepsi sirik na paccè tidak hanya bisa dipahami secara sempit, namun sudah memiliki makna yang amat filosofis, yakni sebagai instrumen "ati macinnong" (kesucian hati) bagi maujudnya pribadi-pribadi yang berharkat mulia.
Bagi masyarakat Bugis, sirik merupakan inti kesadaran hidup manusia. Ungkapan yang berbunyi " sirik-èmmi bawang rionroang ri lino" (hanya dengan kesadaran malu yang membuat kita bertahan hidup di dunia) adalah makna ikonisitas atau penanda martabat kemanusiaan bagi seseorang yang disebut "tau" (manusia). Tanpa rasa malu maka seseorang akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Dimensi
Nilai Sirik na Paccè dalam Aspek Sosial
1) Aspek Pribadi
Pada dimensi ini, para leluhur Bugis telah mengajarkan pesan moral kepada setiap pribadi yang ingin mengubah "wèrè"-nya (nasib kehidupannya):
"Iya teppaja kusappa, paccollikloloèngngi aju marakkoè" (Yang tak henti aku cari ialah sesuatu yang dapat menguncupmekarkan kayu kering).
Elongpugi ini mengandung pesan sugestif bahwa seseorang yang ingin mengubah nasibnya ke arah yang lebih baik, maka ia harus berusaha menemukan jalannya. Salah satu bentuk usaha atau ikhtiar untuk mengubah nasib miskin agar menjadi kaya ialah merantau. Kegiatan merantau, meninggalkan kampung halaman, hakikatnya membangun etos kerja siriq atau malu kembali ke kampung apabila ia tidak berhasil.
Etos kerja ini terkandung di dalam pesan leluhur:
"Pura babbarak sompekku, pura tangkirik gulikku, kulebbirengngi telleng nallisuè mapputtanang." (Layar sudah terkembang, kemudi sudah diikat kuat, lebih baik tenggelam daripada kembali ke darat).
2) Aspek Rumah
Tangga
Pesan leluhur Bugis-Makassar sering kita baca dalam buku tinjauan antropologis berjudul "La Toa", ditulis Prof, Dr. Ahmad Mattulada. Salah satu pesan leluhur yang berkaitan dengan dimensi pembangunan rumah tangga adalah sebagai berikut:
"Ajak muabbawine narekko temmullepi malliburi dapurengngè wèkka pitu" (Tunda dahulu berumah tangga sebelum engkau sanggup mengelilingi dapur 7 kali).
Pesan moralnya, bahwa dapur adalah simbol kehidupan ekonomi keluarga. Angka 7 bermakna 1 minggu (tujuh hari). Filosofi orang Bugis menyatakan bahwa sebuah rumah tangga yang tidak berasap dapurnya selama 7 hari berturut-turut, maka kehidupan rumah tangganya tidak sehat atau bermasalah dari sudut ekonomi.
3) Aspek
Hukum dan
Pemerintahan
Untuk memahami dimensi ini, saya mengutip hasil pemikiran Lamellong Kajaolaliddo (1508-1583), ketika berdialog dengan Raja Bone. Berkata Arumpone:
"Aga tanrana namaraja tanaè, Kajao ?" (Apa tanda suatu negeri disebut jaya, Kajao?). Menjawab Kajaolaliddo:
"Duai tanrana namaraja tanaè. Sèuwani, macca na malempuk Arung Mangkauk-è. Maduanna, tessisala-salaè ri lalèmpanua" (Dua tandanya disebut suatu negeri itu jaya. Pertama, cerdas dan jujur pemerintahnya. Kedua, tidak terjadi pertikaian di dalam negeri).
Kecerdasan manajerial disertai kejujuran seorang pemimpin negeri membuahkan produk kebijakan pemerintahan yang bernilai manfaat bagi diri dan rakyatnya. Pemimpin menyandang predikat kemuliaan (sirik) di mata orang banyak, dan rakyat merasa tenteram atas hadirnya rasa peduli (paccè) pemimpinnya.
4) Aspek Keagamaan
Sirik adalah esensi kemuliaan manusia. Agama menggariskan bahwa manusia yang mulia adalah mereka yang senantiasa menjalin hubungan peribadatan kepada Tuhan serta membangun relasi muamalah dengan sesama manusia, termasuk lingkungan alam sekitarnya (hablin minallahi wa hablin minannaasi).
Salah satu ungkapan dalam bentuk pesan leluhur Bugis yang sering kita dengar yaitu:
"Nasserriko mennang padappunnai sirik. Iyanaritu: masirik ri alemu, masirik ri padammu rupa tau, kuwaèttopa masirik ri Puang Seuwaè"
Artinya: Hendaklah kalian memiliki rasa malu. Yaitu, malu kepada dirimu, malu kepada sesamamu dan malu kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Pesan turiolo ini mengandung etika moral antara lain:
A. Sirik ri alè (malu kepada diri sendiri), ini mendorong kesadaran agar kita senantiasa mampu menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Refleksi etika atas hal ini antara lain; memelihara kesucian hatinurani, melakukan "nyilik
ri ati macinnong", atau introspeksi kesucian diri, lahir dan batin.
B. Sirik ri padatta rupa tau, yakni kita harus memelihara hubungan kemanusiaan dengan sesama manusia, saling memanusiakan, tolong menolong dan "siruik mènrè tessiruik nok" (tidak saling menjatuhkan). Bahkan kita wajib bekerja sama membangun lingkungan alam untuk kemakmuran dan keselamatan bumi.
C. Sirik ri Puangngè.
Sistem nilai moral ini mendorong kesadaran kita untuk meyakini adanya Tuhan yang mahakuasa. Tuhan yang mengatur segala kehidupan manusia. Refleksi etika dalam nilai sirik na paccè terwujud dalam sikap dan perilaku ketakwaan, yaitu:
Appasèuwang ri puangngè (bertauhid mengesakan Tuhan), pugau' parentana (beribadah) dan niniri pappèsangkana (menjauhi segala dosa).
Dengan refleksi etika dalam sirik na paccè itulah maka manusia Bugis-Makassar, oleh para peneliti budaya mancanegara, dikenal "matanrè siriq" (tinggi martabat), dan "magetteng" (teguh prinsip). Namun, di atas pilar "pangngaderreng" (hukum adat) dan agama, ia tetap "makkètau" (menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan).
Demikian catatan ringan ini saya tulis, semoga ada manfaatnya. Salam literasi.
Malino, 26 April 2025