Maujud Budaya-Mitologi Bumi Sulawesi (MBS) Bag. 3

0
REFLEKSI ETIKA DALAM SIRIK NA PACCÈ/PESSÈ

Oleh Mahrus Andis

Epilog

      Tulisan ini bagian akhir narasi Maujud Budaya bertema sirik na paccè yang digelar oleh komunitas Mitologi Bumi Sulawesi (MBS), Sabtu 26 April 2025 di New Tosil Malino, Gowa. Sebagai pembicara pertama, saya memilih mengungkapkan filosofi sirik napaccè atau sirik napessè dari dimensi budaya Bugis.
      Berbicara tentang makna sirik na paccè, saya teringat pendapat Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), ketika menyampaikan ceramah di masjid Ikhtiar UNHAS Baraya, 1977. Dia uraikan bahwa arti sirik itu luas, mencakup segala sikap dan perilaku manusia ke arah yang baik. Karena itu, konsep sirik na paccè orang Bugis-Makassar dapat disepadankan maknanya dengan "ma'rufin", dari bahasa Al Quran, yang berarti kebaikan. Pendapat Buya tersebut sangat koheren dengan apa yang sering kita baca di dalam tulisan para pemikir budaya Sulawesi Selatan, seperti Prof. Mattulada, Prof. A. Zainal Abidin Farid atau Prof. A. Rasdiyanah.
      Dalam konteks ini, Mattulada berpendapat bahwa nilai sirik na paccè bagi orang Makassar sepadan dengan "harga diri" (dignity) dan "keteguhan hati" (istiqamah dalam bahasa agama). Sementara Andi Rasdiyanah melihat sirik na paccè adalah konsepsi budaya masyarakat Bugis-Makassar dalam wujud pranata sosial yang disebut "pangngaderreng" (Bugis) atau "pangadakkang" (Makassar). 
       Siriq na paccè atau siriq na pessè adalah konsepsi budaya leluhur Bugis-Makassar yang secara etika dipelihara sebagai referensi moral di dalam interaksi kehidupan rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Pada hakikatnya, semua umat manusia memiliki sifat kodrati yang disebut sirik (martabat kemanusiaan) dan paccè (kepedulian sosial). Bugis dan Makassar, dua suku yang menyatu dalam sistem budaya yang sama, menjadikan nilai sirik na paccè sebagai landasan moral untuk membentuk karakter dan membangun relasi sosial dalam struktur kehidupan secara turun temurun.
      Siriq dan paccè adalah dua dimensi moral yang tidak terpisahkan dari derajat dan harkat kemanusian. Seseorang yang dianggap tidak memiliki siriq na paccè, digolongkan sebagai manusia yang tidak berharga (tanpa nilai). Itulah sehingga dalam budaya masyarakat Bugis terdapat ungkapan;  
     "siriq-emmi riaseng tau" (hanyalah siriq yang membuat seseorang dapat disebut manusia).
     Dari dimensi kepemimpinan sebagai satu kekuatan moral yang berlandaskan sirik na paccè, juga diungkapkan melalui pasang turiolo (pesan leluhur) dalam bahasa Makassar sebagai berikut:
      "Iyapa nakkullè niallè parèwa sèkrèa tau niakpi naballaki annanga passalak. Sèkrèmi, mangngassèmpi ri gauk-gaukna adaka,
makaruana, bajik panngampèpi ri tau jaina,
makatalluna, sabbarakpi ri gauk antattabaya, makaappakna, mallakpi ri karaèng sekrèa, makalimana, mangassèmpi ri sèsèna rapanga,
makaannanna, mangassèmpi ritujunna bicaraya."
(Seseorang dapat diangkat menjadi pejabat atau pemimpin apabila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, mengenal seluk beluk ketentuan adat.
Kedua, berperilaku terpuji terhadap yang dipimpinnya.
Ketiga, tabah terhadap musibah.
Keempat, bertakwa kepada Tuhan yang mahaesa.
Kelima, mendalami undang-undang (ketatanegaraan).
Keenam, mengetahui seluk-beluk pelaksanaan hukum). 
Pesan leluhur ini sudah merupakan sinkretisme dari nilai "sarak" (syariat Islam) yang melengkapi pangadakkang sebagai pranata adat budaya dalam kehidupan sosial.
      Sebagai catatan akhir, perlu saya kemukakan bahwa sebelum masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan, pranata pangadakkang atau pangaderreng terdiri dari 4 unsur, yaitu:
1) Adek (aturan adat)
2) Bicara (undang-undang)
3) warik (konvensi
     stratifikasi) dan
4) Rapang (ibarat atau
      yurisprudensi).
Sarak, sebagai pranata hukum Islam, diperkirakan menjadi unsur ke-5 sistem pangadakkang/pangaderreng pada abad XVII.
      Dalam tanya jawab di acara itu, banyak tanggapan yang muncul dari peserta maujud budaya. Seseorang menanyakan: 
"Seperti apa langkah strategis yang harus dilakukan untuk mendekatkan pemahaman budaya sirik na paccè/pessè kepada generasi muda". 
Saya hanya menyampaikan saran alternatif, antara lain, Birokrasi Pemerintahan, khususnya leading sektor yang menangani kebudayaan di semua level (dari pusat hingga provinsi, kabupaten dan kota), wajib memiliki sirik na paccè untuk mengimplementasikan nilai kearifan lokal ke dalam program kegiatan instansional sesuai tupoksi kelembagaan. Setidaknya, Undang-undang No. 5/2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dapat menjadi "maujud" berupa peningkatan literasi budaya di masyarakat, terkhusus di kampus perguruan tinggi, melalui forum kajian akademis, dan penguatan mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Dirasakan selama ini, kajian tentang nilai-nilai budaya lokal di Sulawesi Selatan sangat minim. Bahkan, nyaris tidak pernah ada. Kalau toh ada, itu diinisiasi oleh komunitas tertentu secara swadaya, dan di momen itulah, sering tampil Pejabat Pemerintah untuk ikut terlibat "menyumbangkan" kata sambutan. Entitas kita sebagai ahli waris budaya leluhur belum maujud. Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan cenderung larut melakukan even "pemasaran" budaya daripada "pewarisan" nilai-nilai budaya. 
      Terakhir, salut kepada para pemangku MBS yang, dengan sukma tanggung jawab besar terhadap kelestarian adat, telah sukses memerakarsai forum silaturahmi seperti ini. Semoga nilai-nilai sirik na paccè/pessè tetap maujud dalam sikap dan perilaku budaya kita sebagai ahli waris kearifan leluhur. (HABIS)

Makassar, 29 April 2025

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)