Oleh : Ahmad Saransi
@sorotan
Setiap kali bulan September datang, ingatan saya kembali berkelindan pada peristiwa kelam bangsa ini: Gerakan 30 September 1965. Bukan hanya tentang peristiwa berdarah yang mengubah wajah politik Indonesia, tetapi juga tentang bagaimana rezim Orde Baru membangun narasi tunggal atas sejarah. Segala bacaan yang berpotensi membuka tafsir lain segera dibungkam, ditarik dari peredaran, dan dicap berbahaya.
Tahun 1986, saya masih mahasiswa Ilmu Sejarah. Ketertarikan saya pada dinamika politik-militer membawa saya menemukan sebuah buku yang sangat berharga: Militer dan Politik di Indonesia karya Harold Crouch. Buku ini sejatinya merupakan terjemahan dari tesis doktoralnya yang berjudul The Indonesian Army in Politics: 1960–1971. Sebuah karya akademik yang jernih, analitis, dan berani menyuguhkan perspektif berbeda dari narasi resmi pemerintah. Saya pertama kali mengenalnya lewat foto kopi naskah yang saya dapatkan dari Dr. Anton Lucas di Australia. Namun ketika Toko Buku Pedoman Ilmu di Jalan Arief Rate mulai mengedarkannya secara resmi, saya merasa seperti menemukan harta karun intelektual.
Sayangnya, euforia itu tidak berlangsung lama. Hanya dalam hitungan hari, kabar mengejutkan datang: pemerintah Orde Baru melalui kejaksaan menyatakan buku Harold Crouch sebagai bacaan terlarang. Alasannya jelas, karena buku ini dianggap membuka tabir politik militer yang tak sejalan dengan narasi Orde Baru. Perintah pun turun untuk segera menarik buku tersebut dari rak-rak toko dan menyitanya.
Saya masih ingat jelas hari ketika mendengar berita penarikan itu. Tanpa pikir panjang, saya segera menuju Toko Buku Pedoman Ilmu. Hati saya diliputi rasa cemas sekaligus nekat. Saya tahu buku itu akan segera lenyap dari peredaran, dan kesempatan mendapatkannya mungkin tak akan datang lagi. Begitu tiba di sana, saya melihat rak sudah kosong. Pihak toko menolak menjualnya, dengan alasan tegas: sudah dilarang, bisa berbahaya.
Namun saya bersikeras. Saya jelaskan bahwa saya sudah memiliki fotokopi naskah aslinya dari luar negeri, sehingga membeli satu eksemplar takkan mengubah apa-apa. Setelah negosiasi panjang disertai tatapan curiga, akhirnya pihak toko dengan berat hati menyerahkan satu buku kepada saya. Tetapi ada pesan yang sangat menohok dari penjaga toko itu: “Tolong jangan diperlihatkan sama orang lain. Kamu bisa dipenjara dengan tuduhan antek-antek komunis.”
Saya terdiam. Pesan itu seperti tamparan yang menyadarkan saya betapa kuatnya ketakutan yang dibangun rezim Orde Baru. Sebuah buku akademik bisa dianggap ancaman, sebuah analisis ilmiah bisa menyeret seseorang ke dalam tuduhan politik yang mengerikan.
Kini, puluhan tahun setelahnya, setiap kali merenungkan tragedi 30 September 1965, saya tidak hanya teringat pada korban-korban yang jatuh atau pada propaganda yang terus direproduksi, tetapi juga pada momen sederhana di sebuah toko buku di Jalan Arief Rate. Momen ketika saya belajar bahwa sejarah bukan hanya tentang apa yang tertulis dalam buku pelajaran, melainkan juga tentang keberanian untuk mencari kebenaran di balik bayang-bayang ketakutan.


0Komentar