GpWpGUr5TpO5GUYoTSOlGUM9TY==
Breaking
News

Deadlock di Watansoppeng: Riak-riak yang Membuka Luka Lama PWI

Ukuran huruf
Print 0


O p i n i

Oleh : Andi Baso Petta Karaeng


Senja baru saja merayap pelan melintasi atap-atap kota Watansoppeng ketika para wartawan berkumpul di ruang sidang Konferkab PWI 2025. Di ruangan yang kipas anginnya terus berputar tanpa mampu meredam panas, suara-suara yang biasanya mengabarkan fakta justru terjerat di antara pertanyaan tentang aturan, keabsahan, dan nurani organisasi.


Di hadapan meja sidang yang dipenuhi tumpukan berkas, dua nama calon ketua saling berhadapan bukan hanya dalam pemungutan suara, melainkan dalam pertaruhan integritas organisasi yang lebih besar daripada sekadar siapa yang menang. Dan ketika suara dihitung—tujuh banding tujuh—tak hanya pemilihan yang tersendat, tetapi juga kepercayaan pada proses yang seharusnya berjalan jernih dan transparan.


Konferkab itu, yang diniatkan menjadi pesta demokrasi internal, justru membuka pintu pada polemik panjang yang menggiring para anggota PWI Soppeng menuliskan surat aspirasi setebal laporan investigatif—ditujukan langsung ke Ketua Umum PWI Pusat.


MENGIRIM ASPIRASI KE JAKARTA


Surat Panjang dari Watansoppeng


Aspirasi itu disampaikan dengan pembuka yang lirih namun tegas: mereka menghormati keputusan PWI Pusat, tetapi marwah organisasi menuntut penjelasan. Ada getaran dalam kalimat-kalimat mereka—semacam kegelisahan yang hanya muncul ketika aturan dianggap dipelintir, atau setidaknya dikaburkan oleh kepentingan sesaat.


Mereka mengajukan satu pertanyaan fundamental yang berulang-ulang terngiang di kepala anggota:

Aturan mana yang harus dipakai? Bagaimana seharusnya PD/PRT dijalankan?


MALAM SEBELUM KONFERKAB


DPT: Dari Dua Belas Menjadi Empat Belas


Drama sesungguhnya dimulai sehari sebelum konferkab. Di sebuah hotel di Soppeng, utusan PWI Provinsi Sulsel, Ir. H. Abd. Manaf Rachman, datang dengan selembar daftar—tertulis jelas bahwa jumlah DPT adalah 12 orang. Saksi-saksi ada: Hamzah, Darwis, Rachmat, Selly, Usman, dan beberapa anggota lain.


Namun, pagi menjelang siang, daftar itu tiba-tiba beranak dua. Konferkab dimulai, sidang berjalan, dan entah bagaimana dua peserta yang semula berstatus peninjau masuk ke dalam DPT.

L

Keduanya tidak membawa KTA fisik—hanya PDF di ponsel—tetapi setelah Ketua Sidang menghubungi Ketua Umum PWI Pusat (Bapak Hendy Ch Bangun) melalui telepon dan memperdengarkan percakapan itu lewat loudspeaker, keduanya dinyatakan sah memilih.


Keputusan itu diterima dengan kecanggungan terselubung. Beberapa peserta menyebut bahwa menolak keputusan tersebut berarti “mempermalukan Ketua Umum di hadapan banyak wartawan yang meliput”. Logika organisasi bertarung dengan logika etika.


Dan sejak saat itu, daftar pemilih berubah: dari 12 menjadi 14.


DEADLOCK YANG MEMBANGUNKAN KERAGUAN


Dua Kandidat, Dua Belas Suara, Dua Suara Tambahan


Ketika pemungutan suara berlangsung, dua kandidat—Alimuddin dan Jumawi—sama-sama mengantongi 7 suara. Pemilihan macet di tengah jalan.


Forum memanas. Beberapa wajah terlihat menahan gelisah, beberapa lainnya sibuk mencatat dan merekam. Lalu, keputusan yang paling mudah dan paling aman diambil:

Penentuan ketua diserahkan ke PWI Provinsi Sulawesi Selatan.


Namun, justru setelah sidang itu bubar, deretan pertanyaan mulai meruak, satu per satu, seperti retakan kecil pada dinding yang tiba-tiba tampak jelas saat lampu dipadamkan.


KTA TANPA FISIK DAN BAYANGAN DUALISME


Ketika PDF Dipertanyakan dan Kewenangan Kabur


Setelah konferkab, Zoom meeting digelar. Di sinilah istilah baru muncul: dualisme penerbitan KTA.

Para penyampai aspirasi terkejut mendengar fakta bahwa KTA bisa diterbitkan langsung dari pusat tanpa melalui provinsi—sebuah prosedur yang selama ini dianggap baku.


Jika aturan yang paling mendasar saja diperdebatkan, bagaimana proses yang lebih sensitif, seperti pemilihan ketua, bisa berjalan tanpa noda?


MASALAH IJAZAH DAN ADMINISTRASI CALON


Ketika Syarat SMA Digantikan SMP


Drama berikutnya muncul dari tempat yang tidak disangka: berkas calon ketua, Steering Committee menemukan bahwa Jumawi hanya melampirkan ijazah SMP, padahal syarat pencalonan mewajibkan minimal SMA/sederajat.


Jumawi disebut mengakui hal itu secara langsung. Namun verifikasi—yang seharusnya dilaksanakan pada 23 Juli oleh utusan provinsi—tidak pernah dilakukan. Bahkan ketika verifikasi digelar ulang pada Sidang Pleno III, berkas tersebut tetap lolos tanpa diperiksa.


“Bagaimana ijazah SMP bisa melewati dua lapis verifikasi?”

Pertanyaan itu menjadi bara yang menyala paling terang di antara seluruh polemik.


Hal mendasar yang krusial dipertimbangkan PWI Pusat bahwa yang ijazah tertinggi Jumawi adalah SMP dengan nama Jumawi. Sementara KTP, KTA PWI dan Sertifikat UKW ber atasnama Andi Jumawi. Disini menunjukkan, bahwa Andi Jumawi yang wartawan tidak memiliki pendidikan. Sedangkan Jumawi adalah seorang yang telah menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMP yang bukan wartawan. 


MUTASI, DUGAAN MASALAH PENERBITAN KTA, DAN LUKA LAMA ORGANISASI


Jejak dari Sulawesi Tenggara ke Sulawesi Selatan


Status keanggotaan Jumawi pun dipertanyakan. Untuk menjadi Anggota Muda PWI, syarat pendidikan minimal tetap sama: SMA sederajat. Jika syarat itu tidak terpenuhi, bagaimana proses penerbitan KTA-nya di PWI Sulawesi Tenggara bisa lolos mutasi ke Sulawesi Selatan?


Spekulasi mulai tumbuh:

Apakah ada kekeliruan administrasi? Atau ada ruang abu-abu dalam sistem penerbitan KTA yang selama ini tak pernah dibenahi?


USUL PENETAPAN KETUA TERPILIH


Jika Hanya Ada Satu yang Memenuhi Syarat


Merujuk Tata Tertib Pemilihan Ketua PWI Kabupaten, bila hanya satu calon yang memenuhi syarat, maka konferkab dapat menetapkannya sebagai ketua terpilih.


Dengan demikian, Alimuddin—yang memenuhi syarat administrasi dan berkas lengkap—diusulkan sebagai Ketua PWI Soppeng 2025–2028.


Usulan ini bukan sekadar langkah politik, melainkan harapan agar organisasi kembali berdiri di atas fondasi aturan yang konsisten.


PERTANYAAN UNTUK DEWAN PERS


Sertifikat UKW: Sah atau Perlu Ditarik?


Aspirasi itu melebar hingga menyentuh wilayah Dewan Pers:


keabsahan Sertifikat UKW Muda dan Madya yang dimiliki Jumawi.

Sebab, syarat mengikuti UKW—baik Muda maupun Madya—tetap menuntut ijazah minimal SLTA.


Jika syarat awal tidak dipenuhi, bagaimana sertifikat itu terbit?

Bagaimana pula ia bisa memenuhi syarat untuk maju sebagai calon ketua, yang mensyaratkan UKW Madya?


SERUAN DI PENGUJUNG SURAT


Menjaga Rumah Bernama PWI


Di bagian akhir, suara para penyampai aspirasi terdengar lebih lembut namun tajam:

mereka tidak sedang melawan keputusan siapa pun.

Mereka hanya ingin rumah besar jurnalis itu tidak retak dari dalam karena aturan yang dilompati atau dilonggarkan.


Mereka meminta PWI Pusat mempertimbangkan aspirasi ini sebelum menerbitkan SK Pengurus PWI Kabupaten Soppeng Masa Bakti 2025–2028.


Surat itu ditandatangani sembilan nama—dari Usman hingga Fas Rachmat Kami—dan ditembuskan kepada Ketua Dewan Pers serta tokoh-tokoh terkait.


Konferkab PWI Soppeng 2025 mungkin telah usai, namun riaknya masih berpendar hingga ke Jakarta.


Di balik angka 7–7, lebih dari sekadar deadlock yang tersisa: ada rasa waswas, ada tuntutan transparansi, dan ada desakan agar organisasi yang mengawasi etika publik justru tidak mengabaikan etikanya sendiri.


Watansoppeng, yang biasanya dikenal dengan keheningan malamnya, untuk pertama kalinya menjadi panggung perdebatan tentang konstitusi, 

aturan, dan integritas.


Dan kisahnya masih berlanjut—menunggu jawaban dari pusat, serta menunggu apakah organisasi mampu menjawab satu pertanyaan yang paling penting:


Bagaimana menjaga marwah ketika marwah itu sendiri sedang diuji?

Deadlock di Watansoppeng: Riak-riak yang Membuka Luka Lama PWI
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Tautan berhasil disalin